Kontroversi kembali muncul di FSSR. Kali ini tak hanya mahasiswa yang geram dengan kebijakan fakultas. Pihak dosen pun sempat tak sekata d...
Kontroversi kembali muncul di FSSR. Kali ini tak hanya mahasiswa yang geram dengan kebijakan fakultas. Pihak dosen pun sempat tak sekata dengan keputusan dekanat. Tour to Bali tema itulah yang menjadi perbicangan akhir-akhir ini.
Kontroversi study tour ini muncul ketika mahasiswa dan pihak dosen mempertanyakan persoalan dana. Saat dikonfirmasi, Dekan FSSR, Drs. Sudarno,MA menyatakan bahwa tidak ada dosen yang menolak, hanya ribut kecil. Dia juga menyatakan kalau sumber dana study tour didapat dari usaha bukan SPP dan BPI, tapi dari transkrip legalisir. Selain itu, dia juga menambahkan bahwa dana legalisir tidak semuanya digunakan dan keluarga karyawan yang ikut study tour diwajibkan membayar Rp 500.000,00. Ketika tim GEMAKADE menanyakan jumlah dana yang digunakan dalam study tour, dekan mengaku tidak mengetahui jumlah dana dan menyuruh tim GEMAKADE untuk konfirmasi ke kepala Tata Usaha (TU).
“Uang legalisir ke Bali itu Rp 25.000.000,00. Ini bukan uang negara, ini uang bertahun-tahun, empat tahunan” ujar Dra. Kun Kadarjati, selaku kepala TU FSSR. Pada mulanya jumlah peserta yang direncanakan berkisar 77 orang, tapi hanya 56 orang yang bisa berangkat. Dia juga mempertanyakan mengapa mahasiswa FSSR meributkan hal tersebut. ”Padahal uang legalisir itu kan untuk kesejahteraan pegawai karena itu hasil jasa pelayanan mahasiswa, jadi untuk menambah kesejahteraan pegawai”, lanjutnya. Ketika tim GEMAKADE mengkonfirmasi jumlah dana Rp 80.000.000,00 yang sempat menjadi isu, dia menjawab “80 juta itu nonsense, hanya 25 juta”.
Agenda Study Tour
Study tour atau studi banding ini sudah beberapa kali dilakukan oleh pihak FSSR. Studi banding dilakukan di Universitas Airlangga, Institut Teknik Bogor, dan untuk ketiga kalinya di Universitas Udayana. “S2 kajian budaya belum masuk kodekologi sehingga FSSR studi banding ke Universitas Udayana. Agar program S2 Kajian Kudaya masuk dalam kodekologi di tingkat dikti”, ungkap Sudarno ketika menjelaskan tujuan studi banding ke Universitas Udayana. Dia juga menambahkan bahwa Universitas Udayana meraih akreditasi A.
“Kita di ke Udayana, S2 kajian budaya, malah disambut kaprogdi S2 Kajian Budaya, menggoalkan program S2 Kajian Budaya di Dikti, dibekali buku dan brosur”, ungkap Kun Kadardjati. Namun, pihak dekanat dan tata usaha pun tak mengingkari bahwa pada saat studi banding ke Udayana, mereka sempat berwisata.
Kontroversi Studi Banding ke Bali
“Sebenarnya bukan tidak setuju, karena rencana tour ini juga sudah ketigakalinya. Sebelumnya yaitu ke Malang, Bandung, dan sekarang ke Bali. Dan tidak setuju, bukan karena tidak diajak (tour). Namun, para dosen lebih memandang ke segi prioritas. Dana yang dikeluarkan bisa digunakan untuk membenahi fasilitas kampus yang masih memprihatinkan. Contohnya, toilet di Gedung I. Para dosen juga menanyakan urgensinya apa diadakan tour ini saat raker dulu”, jelas Drs. Djatmika, MA. Dia juga menambahkana jika studi banding dimaksudkan untuk menjaga kebersamaan civitas akademika (dosen, karyawan,mahasiswa), lebih baik jika semuanya dapat mengikuti studi banding atau perwakilan mahasiswa dari UKM atau bagaimana.
Tanggapan senada pun diunggkapkan oleh Agus Dwi Priyanto, SS, M.Call. “Kita cuma bisa menuntut hasil perjalanan tersebut. Jangan sampai perjalanan kali ini tidak membuahkan hasil seperti perjalanan-perjalanan yang lalu. Kalau untuk menuntut dana tersebut dikembalikan rasanya sangat mustahil. Kalau perjalanan kali ini tidak membuahkan hasil maka saya sangat berharap senat dan mahasiswa turut berperan untuk aktif memprotes jika perjalanan semacam itu akan dilaksanakan lagi kelak”, ungkapnya saat menanggapi keterlanjuran studi banding ka Udayana.
Ida Kusuma Dewi, SS, MA, sekretaris program S1 Sastra Inggris Non-reguler lebih menyayangkan efisiensi kegiatan studi banding. “Untuk meningkatkan kualitas tata usaha, kalau itu alasannya, menurut saya ada kegiatan lain yang bisa meningkatkan kinerja mereka sembari refreshing misalnya training”, ungkapnya. Ketika dikonformasi mengenai jumlah dana yang digunakan untuk studi banding, dia hanya mengetahui masalah dana itu saat lokakarya di Tawangmangu, sekitar Rp 40.000.000,00. Dia menyatakan bahwa anggaran ini dapat berubah-ubah karena pada`saat itu hanya berupa anggaran.
Pihak dosen mengaku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai kebijakan studi banding ini. “Kedudukan kami kan lemah. Kami kan Cuma bisa mengajukan penolakan tapi tetap saja dekanat yang memutuskan. Paling kami Cuma bisa menuntut hasil dari perjalanan tersebut, karena sangat mustahil untuk menuntut dana (yang telah dipakai) tersebut dikembalikan” ungkap Agus Dwi Priyanto.
Tak jauh berbeda dengan pihak dosen, pihak mahasiswa pun satu kata dalam menanggapi studi banding ke Bali. Mayoritas mahasiswa yang diwakili oleh seluruh ketua UKM, HMJ, dan HMP mengaku menyesalkan studi banding ke Bali. “Ini tentang keikhlasan, kalau dekan ingin mahasiswanya sejahtera ya dana itu buat fasilitas kampus, tapi kalau dekan ingin seneng ya tour ke bali. Yang masih perlu dipertanyakan, apa alasan dekanat memutuskan hal itu? Dan apa yang mereka lakukan di sana”, ungkap Halfidz Risman, Ketua UKM Tesa.
Hal serupa juga diungkapkan oleh HMJ Desain Interior yang juga dapat mewakili HJM dan HMP lainnya. “Baru tahu hal ini. Daripada buat refreshing mending buat membangun fasilitas FSSR yang masih kurang ini”, ungkap Hafidz K R, ketua HMJ Desain Interior.[]
Reporter: Farhana, Indri, Kayun, Kusnul, Fonda, Nia, dan Ika
Ika Kurniawati
Pemimpin Umum
Drs. Sudarno,MA menyatakan bahwa tidak ada dosen yang menolak, hanya ribut kecil. Dia juga menyatakan kalau sumber dana study tour didapat dari usaha bukan SPP dan BPI
COMMENTS