Cerpen oleh Kusnul Khotimah Di depan cermin bisu ini aku bertatap dengan perawakan dan keperawananku. Di ruangan yang lapa...
Cerpen oleh Kusnul Khotimah
Di depan cermin bisu ini aku bertatap dengan perawakan dan keperawananku. Di ruangan yang lapang, yang terbalut kelambu putih bertabur mawar-melati dan wangi sedap malam di pojok-pojok ruangan ini, membuatku kaku. Entah untuk apa semua itu, aku tak begitu paham. Ingin sekali memberontak, tapi itu di luar kuasaku. Yang jelas keberadaanku di sini hanya untuk membuat orang tuaku bahagia, dan mengiyakan mimpi-mimpi mereka yang menginginkan aku untuk belajar dan belajar memahami hidup, dan akhirnya bisa bahagia seperti apa yang mereka impikan.
Sepoi angin di balik jeruji itu membuat aku semakin tak tahan lagi berada di neraka indah ini. Kejadian yang membuatku mual dan pusing malam itu, melebur menjadi satu, membuat aku tak berarti di sini. Aku tak pernah dianggap di sini! Untuk apa aku disini? Hanya memaksakan diri agar kedua orang tuaku menorehkan senyum dari bibir mereka. Ini bukan yang mimpi yang aku ceritakan pada mereka sewaktu aku di Taman Kanak-Kanak. Ku mohon, beri tahu mereka tentang apa yang aku rasakan!
“Maafkan Ayah, Nak. Itu yang terbaik untukmu. Ayah hanya ingin kau bahagia, itu saja.”, sambil membelai rambutku yang tertata rapi, yang telah tersemat konde dan rangkaian melati. Selanjutnya aku hanya bisa tersenyum tanda mengiyakan secara fisik, walaupun secara batin aku sangat tidak setuju dengan ucapan sosok yang berperan dalam penciptaanku itu. Ayahku sangat yakin, tidak lama lagi aku akan memperoleh jabatan yang telah lama dia impikan untukku, tanpa bersusah payah lagi untuk mendapatkannya, dan tak perlu berkecimpung secara langsung diperusahaan pencipta kepingan harta duniawi itu. Ya, sebagai isteri seorang direktur perusahaan tersohor itu.
“Sudah siap, Nak?”, tiga kali ia melontarkan pertanyaan itu, aku hanya mengangguk sambil merasakan linangan air jernih yang mengalir dari pelupuk mataku dan sesekali mengusapnya lembut dengan lengan kebaya putih bermotif anggrek yang terpaksa aku kenakan.
***
Sebulan lalu ayahku mengundang atasannya di kantor untuk makan malam di rumah kami. Ketika ku tanyakan apa alasan ayah mengundangnya, ayahku bilang sekedar menjalin silaturahmi, tapi pada akhirnya …..
Pak Burhan, nama bosnya. Beliau memboyong isteri dan satu-satunya laki-laki hasil buah cintanya bersama isterinya. Sekilas cukup gagah, menurutku. Namun sikapnya yang pendiam itu mencipta seribu tanya di otakku. Tatapan matanya yang berbeda kerap kali beradu dengan mataku ketika berada di meja makan itu. Hal itu sempat membuatku berpikir negatif tentangnya. Namun sekali lagi, aku hanya diam. Aku ini anak ayah dan ibuku satu-satunya. Mau tidak mau, aku harus menjadi anak pendiam, agar orang tuaku selalu merasa bahwa aku Puteri yang sempurna, yang selalu membuat mereka bangga, yang membuat mereka senantiasa mengembangkan senyum manis dari hatinya.
Tiba-tiba Sang Atasan itu berkata,”Kapan acara tunangan kita langsungkan, Pak Tony?” Apa? Tunangan? Di sini hanya aku dan laki-laki di seberang tempat dudukku itu saja yang jari manisnya belum dilingkari oleh janji. Apakah pikirkan burukku saat ini yang akan menjadi kenyataan pahit untuk masaku? Untuk kehidupanku? Aku harus meninggalkan bangku kuliahku, terlebih dengan organisasi yang mencetak nilai plus bagiku? Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Tak percaya… Tak percaya… itu yang selalu terlontar dalam batinku. Tapi mau tidak mau, sekali lagi aku harus membahagiakan orang tuaku. “Bulan depan, tanggal 2, saya rasa itu hari yang baik.”, jawab ayahku, tanpa menengok ke mataku, seolah aku tak berpijak di bumi tempatnya berunding.
Sepulang keluarga Sang Atasan itu, ibu mencoba mengeluarkan kata-katanya untuk menenangkanku dan mengajakku berpikir bahwa ini tak seburuk yang aku pikirkan. Ini masalah kelanjutan hidupku. Ya, aku tahu hidupku perlu materi, tapi aku yakin materi saja tak cukup bagiku. Aku tak mengenalnya, dan aku masih ingin bebas, masih ingin kuliah serta berorganisasi. Tapi jika ayahku sudah berkata, siapa yang bisa berbuat? Tak ada.
***
Ketika diucapkan janji suci olehnya di depan para saksi, aku merasa sedikit tenang dari sebelumnya. Tetapi setelah sandiwara itu berakhir, pemandangan yang aneh kembali aku rasakan. Kami bukan suami istri. Kami tak saling mengenal. Kurasa empedu selamanya akan berasa pahit dan tak akan pernah menjadi manis. Aku tak pernah mimpi seburuk ini sebelumnya. Dan seharusnya ayahku tersayang merasakan bahwa Puterinya tak bahagia berlumur harta.
Kerap kali dia menghempaskan meja kerja di ruang kerjanya setelah melamun, seperti habis memikirkan sesuatu. Aku selalu berusaha lembut untuk menanyakan apa yang mengganggu pikirannya, namun tangannya selalu berbicara tanpa aku melakukan suatu kesalahan. Aku memang belum mengerti banyak soal hidup, tapi aku tak pernah menyangka hidup sekejam ini. Bahkan selama ini dia tak pernah menyentuhku, sekali pun. Hal ini benar-benar membuatku menyesal, tapi apa guna penyesalanku jika pendapatku saja tak pernah di dengar oleh orang tuaku.
Pagi itu ku rasa sedikit tenang dengan keberangkatan suami (palsu) ku ke luar kota untuk menemui rekan bisnisnya. Setidaknya selama tujuh hari ini tidak ada yang tangan yang memukul keras pipiku tanpa sebab. Gerimis yang menghujam lembut mengiringi keberangkatannya. Kurasa ada yang ganjal ketika ia beranjak dari pintu kamar. Orang yang selama ini tak pernah bercakap denganku tiba-tiba berpamitan dan mengucap kata padaku.
“Baik-baik di rumah, jaga kesehatanmu. Nanti jika aku pergi, pasti kau akan mendapatkan kebahagiaanmu yang sesungguhnya. Percayalah … aku berbicara tentang kebenaran, bukan sastra... Tuhan menyayangimu, aku yakin Tuhan mempersiapkan ini sebelumnya untukmu, dan Tuhan mengirimku untuk singgah di perjalanan hidupmu hanya untuk memberi secuil nuansa, yang mungkin akan menghantarmu menuju kebahagiaanmu.”
Nafasku terhenti sejenak, dan tiba-tiba terhembus keras. Aku mendengar gelegar halilintar mengantar keberangkatannya. Dengan sejuta tanya aku kembali memasuki istana bercat ungu miliknya itu, dan mencoba untuk lebih tenang. Belum lama aku duduk di depan cermin bisu yang menatap perawakan dan wajah perawanku tiba-tiba pintu depan terketuk oleh jemari yang tertekuk dari luar. Aku tak pernah menyangka kalau akhir cerita ini akan seperti ini. Dua orang polisi mengabarkan bahwa Ringgo, orang yang dinikahkan denganku seminggu yang lalu telah kembali kepada Sang Khaliq sebelum menunjukkan padaku bahwa hidup itu indah. Jutru lewat kepergiannya itulah, dia berusaha menunjukkan padaku bahwa hidup itu indah. Rencana Tuhan memang lebih indah dari rencana terindah kita. Dan kini, aku tetap mengalir seperti air karena aku yakin yang terjadi padaku adalah hal yang terbaik untukku.
COMMENTS