Oleh : Yulita Fonda *) Terlahir dari tulang rusuk Adam tidak membuat Hawa dinomorduakan dalam setiap ceritera penciptaan manusia. Nam...
Oleh : Yulita Fonda *)
Terlahir dari tulang rusuk Adam tidak membuat Hawa dinomorduakan dalam setiap ceritera penciptaan manusia. Namun, hidup sebagai seorang perempuan akan selalu dibayangi oleh sistem kelaki-lakian (patriarkhi) yang berlaku. Kental di era Kartini dan berlanjut ke era poligami.
Pupus sudah harapan Nurbaya ber-sanding dengan Bahri sang kekasih. Akal licik si kaya Maringgih berhasil mem-peroleh raga Nurbaya dan memisahkan percintaan dua anak manusia. Sempat melanggar adat, namun cinta tak kunjung bertali. Secuil kisah roman Siti Nurbaya terekam bagi siapa yang telah mendengarnya dulu. Ketidakmampuan seorang perempuan yang berada dalam belenggu adat. Sisi lemah sang perempuan yang di-gambarkan dalam goresan pena si penulis. Situasi dan kondisi zaman sangat mengekang bagi keduanya, baik bagi si penulis maupun Nurbaya.
Adat juga berperan dalam membuat perempuan seperti Nurbaya berada di barisan kedua, di belakang punggung seorang laki-laki, di bawah bayangan patriarkhi. Berbeda jauh dengan roman-roman karya Pramodya Ananta Toer. Pelukisan karakter seorang perempuan kuat dan tegar. Ditambah lagi tahan banting dengan segala situasi dan kondisi yang tidak diharapkan, Nyi Onto Soroh sebagai contohnya.
Tertera dengan jelas pada adat budaya Jawa. Dikatakan, syarat seorang perempuan yang baik adalah perempuan yang berhasil di dalam perkawinannya. Bagi suami juga anak-anaknya. Ia yang berhasil dalam menuruti perintah suaminya tanpa ada penolakan adalah perempuan yang baik. Bahkan peraturan itu berlaku bagi suami yang berpoligami sekali pun. Seorang istri harus mau menjalani kehidupan poligami, bersanding rukun dengan madu suaminya, berumah tangga layaknya saudara dengan istri muda.
Kenyataan seperti itu jelas tergambar pada kehidupan raja-raja yang mempunyai banyak selir dan semuanya hidup rukun. Betapa berperannya laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Tidak jarang seorang perempuan hanya diberikan tugas atau pekerjaan yang ringan karena dianggap tidak mampu.
Semua timbul karena sistem yang dianut oleh kebanyakan masyarakat kita, patriarkhi. Di mana seorang laki-laki hanya ingin trah nya berlanjut, dan selalu menganggap menjadi seorang ibu adalah tugas yang paling ideal dan membanggakan bagi perempuan.
Namun kini tidak dapat disangkal, era informatika telah masuk kedalam sendi-sendi setiap manusia termasuk kaum hawa. Era ketika perempuan diberikan kebebasan yang me-merdekakan diri mereka. Kemerdekaan bagi kaum hawa, ketika mereka bisa keluar dari bayang-bayang seorang laki-laki.
Dengan adanya program pemerintah yang bertujuan meningkatkan peran perempuan, dapat dengan cepat menumbuh-kan jiwa saing antara laki-laki dan perempuan. Kaum hawa pun semakin gencar untuk membuktikan bahwa mereka layak disejajarkan dengan laki-laki. Mereka layak untuk berada di nomor satu. Bagaimana pun juga, kebutuhan akan rekreasi, pendidikan, pekerjaan, bergaul, dan mencari pe-ngalaman bagi perempuan dan laki-laki mempunyai kadar yang sama.
Mencari kesetaraan gender bukan berarti para perempuan harus lupa akan kodratnya. Namun, berbagai pengalaman yang didapat, pendidikan yang diperoleh, dan pengakuan masyarakat, menjadi modal yang lebih untuk menjadi istri, serta menjadi ibu bagi generasi penerus bangsa.
*) Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah
yang tidak punya huruf vokal ‘e’ di namanya.
COMMENTS