oleh: Maria Monasias Nataliani “Jauhkan bola besar bercahaya itu, atau mataku buta sesaat.” Riang, perjanjian setengah hari sengaja dirayak...
oleh: Maria Monasias Nataliani
“Jauhkan bola besar bercahaya itu, atau mataku buta sesaat.”
Riang, perjanjian setengah hari sengaja dirayakan
sejak keperakan
itu
melambai tersirat kasihan
Sebentar saja, sukacita penyambutan takkan abadi untuk
suatu remah yang hampir habis dimakan
waktu
Ingatlah, belum setengah jalan mataku
kegerahan tak seperti bulan, yang kini
kurindu jadi
kawan yang nyaman
Malu, aku tertipu suara gemericik air yang turun mengejar tanah, nada berkompilasi berbaris rapi, menghadap harapan dari segala penyesalan hari ini
Bimbang, perlukah tenunan dari ketebalan
sari-sari ketamakan menutupi wajah yang mulai kusut? Dihantam kabut dari matahari –yang bukan penurut – selalu ribut menyikut dalam takut
Tutuplah, sedikit sengatan beracun yang merasuk driya, saktimu sudah terlampaui, sudah, cukupkan sekian hari
“Setelah engkau naik tahta, darahku menguap rata.”
Geram, atas perintah bulan aku dilarikan ke atas bongkahan putih di ujung emporium sejati
Kugenggam kapak dari peluh-peluh
es yang milih bunuh diri
Kulayangkan setara kecepatan cahaya menusuk –andai engkau mau menurut – kini habislah sudah
Bola besar bercahaya serupa membagi roti untuk dua anak manusia. Tak utuh.
Ini sebuah
romantisme yang patut dipuji
Di sela jalan kakiku menuju senja, di antara keringat yang
mulai kering tertiup angin, di ujung kaki yang
berteriak terbakar aspal, kusembunyikan
kapak perak di belakang punggungku, menanti berperang kembali dengan matahari
yang kini lagi menyembuhkan diri
*kenali alam pikirannya di http://monaloveclavier.blogspot.com/
COMMENTS