Seorang pengunjung mengamati salah satu karya Pameran [non]-Expression, Selasa (22/10). Reporter : Rahma Dhiastanti, Lisa Suci Penu...
Seorang pengunjung mengamati salah satu karya Pameran [non]-Expression, Selasa (22/10).
Reporter : Rahma Dhiastanti, Lisa Suci
Penulis : Alieza Nurulita
Pembukaan [non]-Expression Visual Art Exhibition yang diselenggarakan oleh Komunitas Pintu Mati pada 19-24 Oktober 2013 di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) berlangsung cukup meriah dan ramai. Namun pada hari ketiga pameran, Senin (21/10), pengunjung yang datang tidak seramai pada hari pertama.
Menurut ketua pameran, Fadjar Sutardi, [non]-Expression diterjemahkan menjadi tanpa jiwa, tanpa ekspresi, dan diistilahkan sebagai sebuah otokritik kepada para perupa Indonesia, yang sampai hari ini memang banyak melukis dengan tidak memakai sentuhan-sentuhan jiwa. “Kita ingin memperlihatkan bahwa di Solo pakai jiwa. Penjungkirbalikan [non]-Expression kita ambil supaya tahu, ternyata di sini pakai jiwa semua. Pakai ekspresi,” ujar Fadjar.
Pameran [non]-Expression hadir akibat keprihatinan dari kelompok perupa yang sebagian besar alumni dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS. “Dibanding dengan kota-kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung, kenapa Solo itu sepi?“ kata Fadjar. Pameran [non]-Expression digunakan untuk membangun silaturahmi tanpa ada batasan antara senior dan junior. Selain itu, juga bertujuan untuk mengangkat seni rupa di kota Solo.
Lebih dari 80 perupa berpartisipasi dalam pameran tersebut. Perupa nasional seperti Agus Suwage, Nasirun, GM. Sudarta, dan Tisna Sanjaya diundang untuk ikut berpartisipasi. Selain mengundang perupa nasional, panitia[non]-Expression juga mengajak perupa lain untuk ikut ambil bagian dalam pameran tersebut dengan mengirimkan karya untuk diseleksi.
Menurut Puguh, salah satu pengunjung pameran asal Solo, terdapat beberapa karya yang menarik. Salah satunya karya Agus Suwage yang berjudul Malaikat Penjaga. “Dilihat dari segi media itu unik, pengambilan tema juga menarik,” ujarnya.
Minimnya donaturmenimbulkan semacam kendala tersendiri. Para perupa Pintu Mati pun harus merogoh kocek pribadi demi terlaksananya pameran. Selain dana, waktu penyelenggaraan pun turut menjadi kendala karena banyak seniman yang mempunyai agenda pribadi. Untuk kedepannya, Fadjar berharap agarSolo menjadi ramai dan muncul dinamika pasar yang sehat dalam dunia perupa. “Acara semacam ini terus dilanjutkan!” tutupnya. []
COMMENTS