Oleh: Meldi Angin musim panas berhembus hangat, membawa kelopak-kelopak bunga Angsana berwarna kuning yang berguguran. Berguguran di sepanja...
Oleh: Meldi
Angin musim panas berhembus hangat, membawa kelopak-kelopak bunga Angsana berwarna kuning yang berguguran. Berguguran di sepanjang jalan, di trotoar, di bukit-bukit kecil yang menjulang, di mana-mana. Aku menarik nafas panjang, merasa senang ketika kelopak-kelopak bunga kuning itu menari-nari disekelilingku. Menaburkan aroma wangi yang tipis di sekelilingku. Aku bersenandung lirih. Menyerap kehangatan pagi ini dengan gembira.
Suara tawa yang renyah terdengar olehku. Aku menoleh ke belakang dan di sana, seorang gadis dengan pipi kemerah-merahan karena berlari mendatangiku. Dia masih tertawa ketika sampai di sisiku sambil berusaha mengatur nafasnya yang tersendat.
Satu alisku terangkat, “ada apa?”
Gadis itu menggeleng, masih memegang perutnya karena tawanya. “Nggak, nggak apa-apa.” Gadis itu tersenyum lebar, menampakan gigi gingsulnya yang membuat wajahnya semakin manis. Ah, jika saja perilaku Viola –nama gadis itu– semanis wajahnya.
“Kamu tahu tidak? Hari ini Rani ulang tahun, dan semalam kami mengerjainya habis-habisan.” Tuturnya dengan semangat menggebu, “kamu nggak tahu gimana ekspresi dia pas aku dan teman-teman lainnya mengguyurnya dengan campuran susu basi, telur busuk, jamu, tepung, dan juga cat air yang pekat.” Viola terkikik, kemudian matanya membelalak lebar, “dan tadi sebelum aku berangkat, ternyata Rani sudah bersiap membalas perbuatan kami. Dia dengan seember air comberan berjaga di depan pintu dan menghadang anak-anak yang mau pergi,” katanya dengan mimik serius, “untungnya aku tahu, jadi aku berangkat dengan lompat dari jendela kamar, dan jadilah aku satu-satunya yang selamat.” Viola menyerigai bangga.
Aku menggulum senyumku untuk menanggapinya, di satu sisi mengasihani Rani yang semalam pasti serasa di neraka, dan di satu sisi ingin sekali bergabung dengan kesenangan mereka. “Rani nggak apa-apa?”
“Tentu saja nggak apa-apa, kami tidak menyuruhnya meminum larutan bau itu.”
Aku tersenyum lagi, “baguslah. Dan, apa kau baik-baik saja? Jalanmu agak pincang.” Tanyaku sambil mengalihakan tatapanku ke kakinya.
Viola menyerigai lebar, “sedikit sakit, tadi aku tersandung karena harus cepat-cepat kabur. Tapi tidak apa-apa.”
Aku mengangguk, menatap lurus ke depan, masih menikmati suasana pagi yang hangat. Ah, penghujung musim panas selalu sayang untuk di lewatkan, dimana bunga-bunga Angsana mulai berguguran, seolah tanda bahwa rintik hujan tidak akan mampu menyentuhnya. Kelopaknya sudah luluh oleh sang angin. Tidak ada kesempatan untuk rintik hujan.
“Sebentar lagi musim penghujan, kamu nggak apa-apa?”
Aku mengangguk, “kamu nggak perlu menghawatirkanku, aku tidak selemah ketika aku kecil.” Langkahku berhenti tiba-tiba. Tak jauh dariku aku melihat seekor burung yang tergeletak di jalanan, sepertinya sayapnya patah. Aku setengah berlari menghampirinya dan dengan hati-hati mengangkat burung parkit itu.
“Ada apa Ki?”
Aku menatap sendu burung parkit itu yang memekik pelan seperti menahan sakit, “sayapnya patah,” aku bergumam lirih, “apa Aldo bisa mengobatinya?” tanyaku pada Viola.
“Ayo kita tanyakan.”
Kami bergegas menuju tempat Aldo, sepagi ini biasanya dia sudah datang untuk piket di laboratorium. Benar saja, kami melihatnya dengan jas laboratorium berwarna putih, baru saja keluar dari sebuah ruangan besar.
“Aldo!” sapa Viola.
Aldo menatap kami dan memberikan senyum cemerlangnya. “Hei kalian!” dia bergegas mendatangi kami, “Ada apa? Tumben kalian mengunjungiku sepagi ini.”
Aku menunjukan burung kecil yang tergeletak lemah di tanganku. “Bisa kau menolongnya?”
“Ah, begitu.” Aldo mengambil burung kecil itu ke dalam laboratorium, melakukan beberapa hal yang tidak kumengerti dan menaruh burung itu di sebuah sangkar kecil. “Tidak apa-apa, waktu yang akan menyembuhkannya. Nah, siapa yang akan merawatnya sampai dia sembuh?”
Aku maju lalu mengambil sangkar kecil itu. “Aku akan mengurusnya.”
Aldo tergelak, “kadang aku salut padamu Ki, perasaanmu lebih halus dibanding perempuan kebanyakan.” Aldo mengerling kepada Viola yang mendengus kesal.
“Ayo Kiki, kita pergi. Sebentar lagi kita kuliah.”
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Aldo.
Di sepanjang perjalanan, Viola masih kesal dengan ucapan Aldo terus saja merecokiku tentang sikap Aldo yang menurutnya titisan Loki, Sang Dewa kejahilan.
Aku hanya menggulum senyum menanggapinya, tahu bahwa walaupun begitu sikap Aldo, tapi ia menyayangi Viola. Kami bertiga adalah teman sejak kecil, kondisi tubuhku yang lemah membuatku sulit mendapatkan teman, tapi berbeda dengan Viola dan Aldo. Mereka mau bermain denganku, datang ke rumahku dan menemaniku dengan cerita-cerita mereka atau permainan ringan. Aku menyayangi keduanya seperti mereka adalah saudara kandungku.
“Seenaknya aja Aldo ngoceh, apa sih maksud dia?”
Aku menggeleng, lebih menghindari jawaban dari penafsiran yang bisa saja ku ungkapkan. Viola mahasiswa seni murni, jiwanya sebebas pikirannya. Dia akan bertindak sesuai apa yang hatinya kehendaki, percuma jika aku memberikan penafsiranku yang nantinya tidak akan di dengar.
“Kamu juga sih, perasaanmu terlalu lembut!”
Aku tercengang mendengarnya.
“Eh, bukannya itu jelek, itu bagus jika kamu punya perasaan yang lembut, tapi...”
“Aku terlihat seperti wanita?”
Viola mengangguk, dia memang tidak pernah berbohong.
Aku menghela nafas panjang, “aku sudah memikirkan hal itu jauh-jauh hari Vi, kau ingat dulu ketika kita bermain menjadi pengantin?”
Viola tidak menjawab.
“Kau memakaikan wig panjang padaku, memakaikan baju pengantin berwarna putih padaku. Setelah itu kau membawaku berkeliling dan tamu-tamu yang tidak mengenalku mengatakan jika aku cantik.”
Mata Viola membelalak lebar, mulutnya membuka seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang muncul.
Aku menggeleng sambil tersenyum sendu, “aku tidak mengatakan bahwa aku ingin menjadi wanita. Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya senang saat itu, ketika orang-orang mengatakan bahwa aku cantik.”
Aku menatap Viola yang masih melihatku dengan pandangan ngeri.
“Tidak sepertimu yang bertingkah laku dengan mengikuti kata hatimu. Aku, meskipun aku ingin, aku tidak bisa.” Aku mendongak, menatap langit biru tanpa awan, “aku laki-laki, meskipun begitu aku merasa jiwaku adalah perempuan, Vi. Aku adalah jiwa yang terkungkung karena tubuh semu ini.” Aku tersenyum miris, masih memandang langit di atasku.
Viola menutup mulutnya dengan kedua tangannya, kemudian ia menangis. Entah itu menangisiku yang menyedihkan, ataukah menangis karena merasa bersalah karena ceritaku tentang gaun pengantin itu. Kami bertiga selalu jujur satu sama lain, itu membuatku menghargai persahabatan kami.
Aku meletakan sangkar burung yang ku bawa, berbalik ke arahnya dan memeluk Viola. “Maafkan aku Viola, aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”
Viola menggeleng dalam tangisannya. “Kamu hanya bingung, karena itu kamu mengatakan hal seperti itu.”
“Maafkan aku Vi.”
Viola semakin tergugu dipelukanku.
Di sini, di persimpangan jalan yang menghubungkan tempatku, tempat Viola dan tempat Aldo, di penghujung musim panas yang hampir berakhir, aku membuat sahabat baikku menangis karena pengakuanku. Pengakuan yang sebenarnya ingin aku ungkapkan kepada dunia. Pengakuan yang sudah lama sekali aku pendam sendiri.
Aku, jiwa yang terkungkung karena tubuh semu ini.
_End
07:20
09/10/2014
COMMENTS