doc. pixabay.com Penulis: Nur Azizah Siluet jingga melintang ke barat daya. Awan putih berkelut dengan sedikit warna hitam yang memudar. Set...
![]() |
doc. pixabay.com |
Penulis: Nur Azizah
Siluet jingga melintang ke barat daya. Awan putih berkelut dengan sedikit warna hitam yang memudar. Setengah lingkaran di tepi barat itu masih membias cahaya. Dapat dipastikan, sebentar lagi ia akan tenggelam ditelan malam. Setiap masa akan menemui senja. Tetapi, senja bukan berarti kita hanya terlentang menanti malam. Senja bukan berarti titik akhir dan memasrahkan segalanya.
“Mah, wanita itu seperti apa sih?”, tanya seorang gadis belia.
“Ya, seperti kamu.”
“Seperti aku?”
“Wanita itu hiasan dunia,” mama menambahkan. Seakan mengerti bahwa anaknya meminta penjelasan.
“Lalu, apa tugasnya?”
“Ia menjadi pendorong tetapi bukan pendesak. Ia juga bisa memecah kerasnya hati lewat kelembutan yang ia miliki.”Belum puas, gadis itu bertanya, “Tidak ada alasan lain ia diciptakan?”
“Ia diciptakan sebagai pendamping.” Sang Mama menoleh kepadanya sambil menggoyangkan jari telunjuk. “Bukan pemimpin.”
“Hanya pendamping?”
Sang mama terbungkam. Ia menatap gadis itu dalam-dalam. Mungkin karena kejengkelan yang mulai membengkak. Atau sebagai isyarat, meminta dirinya agar diam.
“Kamu akan mengerti nanti,” jawab sang mama sambil mengangkat pot bunga dan berlalu. Gadis berwajah tirus itu hanya duduk berpasrah. Menatap langit jingga sambil mencoba mengalihkan pikirannya yang terus bertanya.
Seiring bergulirnya hari, gadis itu tak pernah lelah mengejar jawaban. Ia terus berlari menuju puncak penyelesaian. Membawa sekeranjang tanya yang menaburi lembah hatinya. Ia berusaha merumuskan jawaban dalam setiap langkah perjalanannya. Didalam damainya senja, ia mengendap mendekati sang mama kembali. Disamping dua kursi yang terpajang diatas balkon lantai dua, sang mama merangkai bunga. Gadis itu duduk disalah satu kursinya. Sambil membantu mengambil tangkai demi tangkai, ia membuka mulutnya.
“Mah, dulu mama bilang bahwa wanita itu hiasan dunia?”
“Ya,” jawabnya singkat dengan sebuah anggukan kepala.
“Apakah itu sebabnya banyak sekali wanita disandingkan dengan iklan produk, menjadi agen pemasaran produk ditengah mall kota?”
“Itu kan pekerjaan,” mamanya tersenyum, mencoba bijak menasihati.
Gadis belia itu mengangguk-angguk, tetapi masih bertanya. “Kenapa beberapa temanku perempuan selalu percaya pada laki-laki? Padahal sudah berulang kali disakiti. Karena hiasan, apakah lelaki bisa dengan mudah mencobanya? Ia bisa dilempar dan memesan yang baru bila telah bosan? Itu artinya………..”
Sebelum gadis itu selesai bicara, sang mama merobek kalimatnya. “Bukan. Hiasan itu bukan berarti bisa dipamerkan. Hiasan bukan berarti barang obralan. Lalu, lelaki bisa dengan mudah memperlakukannya seperti sampah. Karena kelembutannya, terkadang ia mampu dibodohi karena naluri. Tetapi, yang mama maksud hiasan itu karena ia begitu berharga jika mampu menjaga kehormatannya. Hingga ia menjadi satu-satunya yang terindah untuk makhluk teristimewa.”
“Lalu mengapa mamanya Nova selalu menuntut suaminya untuk bisa mencukupkan materi keluarga? Kata mama, wanita bukan pendesak?”
Sang mama mulai tergeragap untuk menjawab.
“Yaaa.” Sambil berpikir keras, sang mama berharap memberikan jawaban yang tepat untuk putrinya. “Itu beda lagi.”
“Berbeda apanya? Kemarin, aku juga pernah mendengar cerita dari Liora. Ia merasa kasihan sama orangtuanya. Setiap hari ibunya yang bekerja. Sedangkan suaminya hanya mengikut perintahnya. Menjalankan tugas yang seharusnya dikerjakannya. Ayahnya seringkali tak mendapat penghargaan sama sekali dari istrinya. Kata mama, wanita itu pendamping bukan pemimpin?”
Sang mama menghela nafas panjang, menyembunyikan kerisauan untuk menemukan jawaban.
“Karna kau mengamati wanita diujung senja. Wanita yang digilas modernitas. Telah terbuai oleh materi. Ideologinya telah terganti. Mengikut masa yang telah terlepas dari rantai kehormatan. Tak peduli ia telah terseret dalam arus pergolakan.”
Gadis itu mulai diam, perlahan menutup mulutnya rapat-rapat. Tercenung pada sebuah nasihat yang disampaikan.
Kau boleh jadi wanita diujung senja. Namun, kau tak boleh gelap mata, karena malam belum tiba. Senja bukan berarti kau telah buta, hingga tak mampu membedakan mana yang benar. Selagi senja, kau masih bisa menuntun dirimu. Menjadi mutiara meski tersimpan didasar samudra. Kau boleh mengikut arus, tetapi jangan sampai terseret didalamnya.[]
COMMENTS