Pengunjung memadati Festival Payung yang digelar di Taman Balaikambang, Solo. Reporter: Intan Nur C, Nur Azizah, Rahwiku T. Mahanani Penulis...
![]() |
Pengunjung memadati Festival Payung yang digelar di Taman Balaikambang, Solo. |
Reporter: Intan Nur C, Nur Azizah, Rahwiku T. Mahanani
Penulis: Umi Amanah
SURAKARTA – Festival Payung yang berlangsung di Balaikambang pada 11-13 September 2015 ini tergelar begitu semarak. Selain nyaman dan strategis, pemilihan tempat acara di Taman Balaikambang juga dikarenakan beberapa faktor sejarah dan kedekatannya dengan budaya. Festival yang dimulai pada tahun 2014 di Solo ini, juga bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga Mataya Indonesia.
Dengan mengusung tema umbrella reborn, panitia menyiapkan beberapa standpayung dari berbagai daerah untuk mengangkat kembali kesenian payung serta para pengrajinnya. Banyaknya masyarakat Indonesia yang lebih mengenal payung buatan luar negeri menjadikan para pengrajin payung tradisional Indonesia kurang berkembang. Namun, dalam festival kali ini tidak hanya pameran payung dari berbagai daerah di Indonesia saja, ada juga beberapa dari Thailand, China, dan Jepang yang disuguhkan. Untuk menarik pengunjung, panitia tidak hanya menyiapkan stand payung, ada juga stand kuliner, pementasan, karnaval, fashion show, lomba menggambar dengan media payung untuk anak-anak, dan workshop.
Antusiasme pengunjung yang berdatangan baik dari Solo Raya maupun luar kota, menjadikan festival yang dipelopori oleh lembaga Mataya Indonesia ini tergolong sukses. Riswoto, pengrajin Payung Gunung Sari Kalibagoran, Banyumas merasa bersyukur turut membuka stand payung khas Kalibagor di acara tersebut. Dengan bentuknya yang unik, yaitu motif bunga dengan bahan dasar payung kertas semen dan bambu yang dicat dengan cat minyak avian membuat karyanya berbeda dari negara-negara lain menjadikan stand-nya tidak pernah sepi pengunjung.
Selain itu dukungan publikasi baik dari media massa maupun sosial media semakin mendukung kesuksesan acara ini. “Acaranya lumayan, kanjadi saya itu dari rumah itu melihat koran kokada acara festival payung jadi saya ke sini. Tahun lalu belum, karena baru tahu kan kemarin dari koran itu. Tahun depan insya Allah mau ke sini lagi. Kurang padet, payungnya kurang banyak.” Tutur Jumadi (Masaran, Sragen), yang datang beserta keluarganya. Berbeda dengan Sasa dan April (Kelas 2 - SMK Analis Kesehatan Nasional Surakarta), yang mengaku datang ke Festival Payung tersebut karena membaca informasi di sosial media. Selain dimanfaatkan untuk main dan refreshing, mereka juga memanfaatkan acara tersebut untuk foto-foto yang kemudian diunggah ke instagram.
“Ke depan, kami mengharapkan tumbuh pengusaha-pengusaha muda. Nah, ke depannya itu karena pengrajin masih tradisional, itu perlu dikembangkan karena kalo tidak kita yang mengembangkan siapa lagi gitu lho generasi mudanya. Jadi jangan sampai hilang. Biar lestari,”tutur Riswoto.[]
COMMENTS