Organisasi kampus, kiranya menjadi alternatif kegiatan bagi mahasiswa selain kuliah. Kesibukan kuliah dengan segala konsekuensi waktu yang...
Organisasi kampus, kiranya menjadi alternatif kegiatan bagi mahasiswa selain kuliah. Kesibukan kuliah dengan segala konsekuensi waktu yang ditawarkan sebagai alasan untuk tidak ikut berperan aktif di organisasi kampus. Beda dengan jurusan bergenre ‘sastra’, mahasiswa ‘seni’ cenderung diarahkan pada pengembangan profesi dengan takaran waktu praktek lebih banyak daripada teori. Hal itulah kiranya menyebabkan mahasiswa ‘seni’ hanya sedikit yang dapat aktif di kegiatan organisasi kampus.
Tak bisa dipungkiri, organisasi kampus menjadi wahana perimbangan bersosialisasi dan berorganisasi saat kuliah. Seperti pada yang diungkapkan Dosen Seni Rupa Murni, Drs. Sunarto, M.Sn, “Semestinya mahasiswa bisa bersosialisasi secara keseluruhan. Untuk latihan, karena cari kerja itu nggak bisa sendiri. Dengan sosialisasi dan organisasi kita akan punya jalur-jalur atau link tersendiri ke arah kerja yang mungkin tak terduga sebelumnya.” Di samping itu, beliau juga mengisahkan berbagai pengalaman mahasiswa alumni Seni Rupa UNS yang sukses di beragam profesi, misalnya di Departemen Budaya dan Pariwisata, di Museum Indonesia, di SMK 1& 2 Banjarmasin, di NTB, NTT, Sulawesi dan Padang. Salah satunya justru menjadi Kepala Lab Penelitian Indonesia. Tentu ini hanya sebagian dari sekian kesuksesan yang tercatat bagi para perupa, seniman, dan desainer jebolan dari FSSR UNS. Semuanya itu, juga tak luput berkat keaktifan mereka-mereka di organisasi, tingkat disiplin tinggi dan interaksi sosial yang baik.
Organisasi di mata mereka
Manfaat dari organisasi juga dirasakan oleh aktivis kampus alumni FSSR UNS. Ditemui reporter Kalpadruma, alumni DKV ‘02 UNS, Yosef Ardy, kini menjadi Koordinator Teknis di Lestude (Lembaga Studi Desain). Ia menjelaskan bahwa dengan organisasi kita akan tahu tahap-tahap dalam menyelesaikan pekerjaan, lebih tahu struktur, dan terbiasa dengan pekerjaan yang tersistem. Dari segi dunia kerja, yang menuntut untuk dapat berpresentasi, bicara di depan umum, organisasi menjadi ajang untuk melatih itu. Dengan rapat tim dan kerja bersama saat berorganisasi, akhirnya membuat tidak merasa individualis dalam pekerjaan.
Bahkan mahasiswa magang dari Lestude, Vincent, mengungkapkan nada kekecewaan bagi mahasiswa yang tidak memanfaatkan organisasi kampus untuk melatih softskill dan kemampuan interpersonal. “Organisasi kampus itu menjadi tempat dimana kita diberi tanggungjawab untuk mengelola SDM dan uang yang telah disediakan, dan masih ada possibility ruang untuk melakukan kesalahan (error). Di organisasi pun kita masih punya pengawas, beda dengan kerja. Organisasi itu menjadi batu loncatan ke dunia luar atau pekerjaan nyata.” tandasnya
Hampir serupa dengan pengakuan Arief Fatoni Rahman yang menjalani kuliah dan aktif berkecimpung dalam bermacam kegiatan di luar kampus. Meskipun mahasiswa DKV ’07 ini tidak aktif di organisasi kampus, hal positif dari dalam sebuah organisasi luar telah ia rasakan. Ia menyayangkan pula jika mahasiswa Seni Rupa tidak turut aktif berorganisasi. Mau tak mau, karya yang dihasilkan oleh mahasiswa Seni Rupa dinikmati oleh orang lain dan perlu masukan ataupun saran. Lain halnya dengan Mia Fauzia dan Kholid Arbain, mahasiswa Desain Interior ‘08 yang sedikit merasa kesulitan ketika dihadapkan pada penyesuaian waktu untuk berorganisasi dan kuliah. “Kita bakal repot dan kuliah jadi agak keteteran, tapi justru itu melatih kita untuk bekerja keras sejak sekarang agar kita nggak kaget nantinya.”, ungkap Mia, anggota KMF FSSR ini.
Terkesan nyentrik
Anggapan ‘individualisme’ akhirnya terpaksa muncul dan melekat pada mahasiswa seni dikarenakan ketidakaktifan mereka pada organisasi kampus. Beberapa mahasiswa memang tidak setuju akan anggapan demikian. Namun, individualisme pada sebuah karya seni memang sangat dibutuhkan, bukan pada sosialisasi dalam masyarakat. Hanya dalam sebuah karya dituntut tidak meniru dan memiliki kreativitas tinggi untuk menciptakan hal baru. Diakui jika dibandingkan di kota besar, di Solo atau di daerah, anggapan bahwa orang Seni Rupa itu nyentrik, tidak bisa diatur dan tidak disiplin masih melekat. Tapi, itu tak berlaku selama masing-masing individu berkarya dan bersosialisasi baik dalam masyarakat. Tak ayal, ketidakaktifan mahasiswa bergenre ‘seni’ di organisasi kampus juga bukan semata tidak mau terlibat aktif, sekiranya kurang adanya wadah yang menarik jiwa mahasiswa Seni Rupa dan menunjang hobi serta ketertarikannya untuk meluangkan waktu di sela tugas praktek yang menguras banyak waktu, pikiran dan tenaga.
“Mahasiswa ‘seni’ tidak suka dikekang, dan tidak suka ekspresi mereka dibatasi oleh organisasi,” tutur Adi, Ketua Umum PMK. Cara pandang yang berbeda dengan mahasiswa sastra tentang organisasi, menjadikan beberapa organisasi kampus sepi akan mahasiswa ‘seni’. Sedangkan Galih Reza, merasa terpanggil hatinya dan nyaman ketika berorganisasi daripada hanya kuliah biasa. Organisasi baginya menunjang kuliah. Harapan besar terlantun dari mahasiswa Seni Murni 2008 ini, agar teman-teman dari Seni Rupa mau bergabung di organisasi.[] Farhana Aulia
COMMENTS